WHITE

Rumah kamu kali ini bernuansa putih. Bunga-bunga di rumah kamu berwarna putih juga. Sangat menyapa hatiku.

 

Kamu masih menungguku seperti biasa. Tidak pernah ada keluhan terucap dari mulutmu, ataupun senyum yang sirna di wajahmu. Kamu tahu aku selalu semauku sendiri datang dan pergi, kadang aku pun berselingkuh. Hanya saja kamu tak pernah lelah denganku.

Seperti hari ini pun, ketika aku tergopoh-gopoh masuk ke rumahmu, kamu tetap menghias rumahmu sedemikian rupa agar saat aku hadir disitu, aku bisa merasa nyaman.

Putih. Hari ini kamu menyuruh pedinde kamu membeli bunga putih untuk menyambutku. Padahal kamu sempat berujar kamu suka warna ungu beberapa saat terakhir ini.

“Hai.” Kataku datar menyapa.

Kamu tersenyum lebar padaku, dan cepat-cepat merengkuh dan memelukku. Pelukanmu selalu hangat. Pelukan yang selalu kurindukan. Lalu kamu membawaku ke sofa dimana bunga-bunga putih itu kamu letakkan di sekitarnya.

“Indah sekali. Aku suka.” Lanjutku sambil tersenyum.

“Aku tahu.” Katanya mengangguk tegas.

“Tapi kenapa putih, dan bukannya ungu seperti yang kamu mau?” Tanyaku menggelinding tajam.

“Ungu bukan warna yang cocok untuk suasana hatimu saat ini.” Jawabnya tegas sekaligus sangat lembut menyentuh.

Aku terpana dengan jawabannya dan hanya bisa terdiam.

“Kamu tak benar-benar sedang bahagia atau sedih. Kamu punya keinginan lagi untuk diwujudkan, kan?” Tanyanya penuh pengertian.

Aku mengangkat wajahku, dan menatapnya lekat-lekat.

Sinar matanya masih penuh binar cinta saat menatapku, tak ada sedikitpun keraguan disana. Sementara ada pengkhianatan, lelah yang teramat sangat, hasrat memuncak, dan tuntutan tiada henti yang barangkali terpancar dari sorot mataku.

“Aku mau pergi.” Kataku datar tanpa perasaan.

“Pergilah kalau memang itu yang bisa membuatmu bahagia.” Jawabnya tenang.

“Kamu bohong! Kamu tidak pernah benar-benar mengijinkanku pergi.” Sahutku penuh amarah yang tiba-tiba memuncak.

Kamu menggeleng perlahan namun tegas.

“Aku pasti akan kembali kalau memang itu satu-satunya syarat supaya kamu membiarkanku pergi.” Lanjutku masih dengan emosi tegang.

Kamu terdiam. Ada kesedihan tersirat di raut wajahmu.

Sementara aku memilih beranjak dari sofa, menyambar botol anggur yang juga selalu kamu siapkan untukku, dan meminumnya tanpa perasaan.

Sejenak kita saling diam. Di saat itulah, aku kembali menatap ke arah bunga-bunga putihmu. Sama seperti saat pertama melihat bunga-bunga itu, tiba-tiba hatiku terasa hangat kembali. Amarah pun terasa lenyap seketika. Dan aku menyadari aku telah sangat melukaimu.

Aku segera berbalik dan memelukmu erat-erat.

“Maafkan aku.” Kataku cepat penuh kesungguhan.

Kamu balas memelukku, dan menepuk-nepukku untuk menenangkan aku yang mulai ingin menangis.

“Kenapa putih?” Tanyaku saat kami saling melepaskan pelukan, dan kini bergenggaman tangan.

“It’s clean and clear.” Katanya jenaka dengan intonasi bak pengisi suara iklan.

Aku pun tertawa berderai. Sesaat kami tertawa bersama.

“Aku ingin kamu melepaskan semua beban kamu, termasuk keinginan-keinginan kamu saat ini. Akhirilah tahun ini dengan langkah dan pikiran ringan. Supaya di tahun depan nanti, kamu lebih punya banyak tenaga untuk impian-impian kamu.” Jelasnya dengan lembut.

Aku mengangguk tegas.

“Aku mengerti sekarang.” Kataku lugas.

Kamu tersenyum lebar padaku.

“Kenapa kamu masih saja mau menunggu dan memahamiku, sementara aku sering menghilang darimu?” Tanyaku was-was.

“Karena aku tahu, sejauh-jauhnya kamu pergi, kamu pasti akan kembali padaku.” Jawabnya super yakin.

“Idih, GR deh kamu!” Sahutku penuh canda.

Kamu tertawa lebar dan meneruskan katamu, “Kamu juga sangat mengerti tentang aku dan kamu juga tak pernah lelah denganku. Di saat ada badai diantara kita, kamu masih memegang erat aku, sebagaimana aku juga tak mau melepasmu. Itu lebih dari cukup untuk kamu dan aku tetap bersama.”

Aku menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Kamu selalu melihatku dengan indah. Seolah tak peduli dengan adanya begitu banyak noktah hitam di diriku. Kamu juga membuatku jatuh mencinta, tanpa aku harus membuat daftar kelebihannmu. Dirimu seutuhnya adalah alasan mutlak aku memberikan hatiku sepenuhnya padamu.

“Terimakasih kamu membuatku merasa sebegitu indah seperti bunga putih itu.” Kataku tulus.

Kamu mengangguk tegas.

“Aku akan membiarkanmu pergi di saat aku merasa kamu sudah benar-benar siap untuk pergi.” Katanya lugas.

“Aku tahu. Maafkan aku yang selalu meragukanmu, sementara kamu selalu benar-benar memikirkan yang terbaik untukku. Untuk kita.” Ujarku melirih.

Kami berpelukan selama beberapa saat, meleburkan diri dalam satu desahan nafas dan ritme detak jantung yang sama, seiring wangi bunga-bunga putih yang menguar diantara kami.

 

The end.

 

 

 

 

Tinggalkan komentar