I Know

Sometimes you just need one person to believe in you.

Setelah lima belas menit menunggu di taman yang berada di sebuah roof top hotel mewah, muncullah sebuah helikopter. Tak lama kemudian, terlihatlah Alfonso yang segera menyongsong dan memelukku erat-erat.

“Sorry, babe, biasalah urusan drugs. Thanx for waiting.” Katanya tegas namun lembut.

Sebenarnya urusan tunggu-menunggu begini tidaklah asing buatku, karena semua teman-temanku bukanlah manusia biasa. Ada yang mafia, pemimpin agama yang kontroversial, businessman yang punya hobi bikin polemik, istri menteri yang suka selingkuh, pria melambai yang punya usaha klub malam dan masih banyak makhluk-makhluk lain yang enggak normal jadi pelengkap dalam hidupku.

Resikonya berteman sama mereka ya kalau ketemuan susah, harus ada acara menunggu, dan paling berat adalah ikutan dibenci. Dunno why, it’s not a big deal for me.

Alfonso tampak tidak bahagia kali ini.

“Kenapa, Al? Lagi banyak razia ya?” Tanyaku ringan.

Alfonso menggeleng.

“Gue kadang pengin pensiun dini, babe. Orang pikir gue tuh kejam, padahal gue ngidupin ribuan orang, belum gue nyumbang buat vatikan tiap tahun dan masih banyak lagi. Capek gue, babe.” Keluhnya jujur.

“I know. Coba liburan lagi aja. Enggak banyak membantu sih, tapi mungkin bisa kasih lo jeda dan perspektif lain.” Jawabku tetap ringan.

“Babe, lo pikir gue jahat enggak sih?” Tanyanya sangat ingin tahu. Matanya mencari jawaban demi sebuah pembenaran.

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba terdengar suara gaduh. Beberapa bodyguard berpakaian hitam datang, lalu sesaat kemudian tampaklah seorang wanita bohemian yang cantik. Alena. Inilah isteri yang suka selingkuh dan semaunya sendiri. Isteri menteri pertahanan.

Setelah cipika-cipiki, kita bertiga duduk kembali dengan tenang. Alfonso langsung menyentilnya.

“Sekarang lagi sama siapa, Al?” tanyanya sambil menatap penuh jenaka.

Alena menghidupkan sebatang rokok, menghisapnya, lalu menjawab dengan ringan, “Vokalis kontroversial yang barusan keluar dari rutan.” Jawabnya dengan cantik.

Gue dan Alfonso tertawa riang. Hal-hal kontroversial sudah terlalu melekat dalam hidup kami, yang bisa kami lakukan hanyalah menertawakannya.

“As long as it makes you happy, Al.” Kataku tulus.

Semua tidak mengira di balik kecantikan dan kekayaannya, terlalu banyak luka yang diderita oleh Alena.

“How’s your life, Alena?” Tanya Alfonso to the point.

Mendadak wajah yang cantik itu tampak rapuh, dan matanya pun berkaca-kaca.

“Satu lagi lebam di punggung. Sepuluh surat ancaman ke suami gue. Beribu-ribu kali keselamatan anak-anak gue terancam. Media dan KPK mulai menyorot kekayaan kami. Sementara gue harus terus menjalani ini semua, demi yayasan wanita kanker, organisasi pengumpulan dana anak terlantar, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Capek gue.” Katanya sendu dan tiba-tiba menggenggam tanganku.

Aku lalu memeluknya beberapa saat, “I know, Alena.”

Alena dengan suara terisak bertanya, “Salah ya gue? Salah ya semua yang gue lakuin ini?”

BRAK!

Datanglah si pemimpin agama, businessman, dan pria melambai. Secara berurutan juga, nama mereka, Fransiskus, Wijaya, dan Jimmy. Ketiganya tampak keruh. Semua berjabatan dengan muka kelam.

Fransiskus dengan sebal langsung berceramah, “Woi, gue bukan Tuhan! Gue cuma pelayan Tuhan, wajar dong gue punya dosa banyak apalagi tertarik sama perempuan! Gue juga manusia kale! Alleluyaaa!!!”

Si bencong menyahut, “Olala! Umat beragama emang munafik, Frans! Sebulan ini beberapa club malam gue diancam sama organisasi agama! Huh! Padahal banyak tuh yang tiap malem setor sperma ke klub gue!!”

Semua langsung tertawa. Setelah itu Wijaya pun langsung angkat bicara, demi curcol.

“Masalah gue kaum buruh! Gue kurang apa coba, secara gue udah buka begitu banyak lapangan kerja buat orang-orang. Tapi kadang yang bikin mereka layak disebut buruh tuh karena mentalnya! Nuntut ini-itu, tapi kerjaan enggak optimal! Lo pikir gue pohon duit, punya daun emas dan akar perak?!”

Semua kembali tertawa bersama. Inilah satu-satunya cara kami bertahan.

Sayup-sayup semuanya saling bercerita betapa hidup tak pernah sepenuhnya hitam, dan juga tak sepenuhnya putih. Hidup seperti itu memang tidak pernah mudah untuk dijalani.

Tiba-tiba sunyi senyap. Alfonso kembali bertanya padaku.

“Babe, rasa-rasanya cuma elo yang paling normal diantara kami. Kalau enggak ada elo, kita pun mungkin enggak bisa saling percaya gini. Kenapa lo percaya sama kita, babe?”

Jimmy langsung teriak dengan sangat bencong, “Feeeeeliiiiiiinggg!!! Itu jawaban andalan doi!!”

Semua kembali tertawa. Namun semua menunggu jawabanku.

“I have no reason to love.” Jawabku sediplomatis mungkin. Namun semua sudah sangat tersentuh.

Kami berpelukan, saling membuka agenda masing-masing untuk menentukan tanggal pertemuan di bulan depan, dan berpisah. Kini hanya ada Alfonso di sampingku.

“I still need your answer, babe.” Katanya ringan tapi menuntut.

“Gue masih bisa percaya sama kalian karena kalian masih punya hati. Kalian punya alasan yang sangat manusiawi untuk melakukan tindakan yang terlihat tidak sangat manusiawi.”

“Tapi enggak mudah untuk bisa melihat dan percaya sama hati seseorang, apalagi kehidupan kami terlalu kontroversial.” Bantah Alfonso tanpa basa-basi.

“Mudah kalau elo pernah mengalaminya, Al.” Jawabku lembut.

Alfonso tampak kaget, “Elo? Bukannya hidup elo baik-baik aja dan nyaris linear, babe?”

“Gue dulu anak paling enggak nurut, enggak percaya Tuhan, kambing hitam keluarga besar, noktah hitam, Al. Cuma bokap gue yang percaya sama gue kalau gue enggak gitu. He loves me truly, Al.” Jawabku sendu tapi bahagia.

Alfonso mengangguk mengerti, “I know.”

Kami berpelukan untuk waktu yang sangat lama. Satu orang sudah lebih dari cukup untuk membuat kami tetap bertahan dan menjadi apa yang mungkin kebanyakan orang tak pernah menduganya.

 

 

 

Satu respons untuk “I Know

Tinggalkan Balasan ke helenarinthasari Batalkan balasan